Sugeng Rawuuh choy,,,,

blog iki mbahas kangge pajenengan seng seneng dateng BUDAYA alias SENI engkang kagungan wonten teng INDONESIA puniki choy,,,,,

Menyoal Perempuan Melalui Pertunjukan Puisi Ayi K. Iskandar

Senin, 08 Februari 2010

Puisi merupakan emosi, imajinasi, pemikiran, ide, sekaligus irama yang membaur. Ketika dipertunjukkan di sebuah ruang, ia menjadi sebentuk apresiasi, seperti ketika sebuah puisi membicarakan tentang eksistensi perempuan dalam cawan kehidupan. Sabtu, (19/12) lalu, Ayi Kurnia Iskandar menggelar pertunjukan puisi bertajuk “Puisi Perempuan Indonesia” di Kedai Mediterrazia, Dago Atas, Bandung.

Dalam pementasan selama lebih dari satu jam, Ayi membawakan puisi Goenawan Muhammad, Chairil Anwar, Matdon, Godi Suwarna, Juniarso Ridwan, Soni Farid Maulana, Ahda Imran, Attasi Amin, Eriyanti Nurmala Dewi, Dian Hartati dan lain-lain. Ayi mengambil benang merah perempuan sebagai tema yang diangkat untuk momen Hari Ibu. Ia tidak hanya membawakan puisi yang memiliki tendensi khusus untuk sosok Ibu secara harfiah, tetapi makna dan asosiasi Ibu dalam kehidupan secara umum. “Puisi ini saya persembahkan khususnya untuk Ibu-ibu yang merelakan anaknya menjadi seniman”, ucapnya sebelum membawakan puisi Chairil Anwar.

Pertunjukan ini tidak hanya melibatkan Ayi sebagai aktor tunggal, tetapi juga dengan mengkolaborasikan keahlian-keahlian yang dimiliki timnya, baik menggunakan teks, artistik, maupun musik sebagai titik keberangkatan dalam berkarya. Ayi Kurnia Iskandar tidak hanya berperan sebagai penyair, namun lebih sebagai pencipta ruang bagi cerita itu sendiri dalam pertunjukan puisi ini, kadang ia bertindak sebagai aktor pendukung suasana, dan kadang sebagai satu-satunya elemen peran. Secara keseluruhan, pertunjukan puisi Ayi terkesan sederhana meski tetap memiliki kedalaman makna yang tertuang dalam pusi-puisi yang ia bawakan

Tentang Ayi Kurnia Iskandar:

Ayi Kurnia Iskandar lahir di Wanayasa, Purwakarta, 29 Juni 1971. Ayi berkecimpung di dunia sastra dan teater sejak tahun 1990 dan aktif di beberapa kelompok teater di Bandung, diantaranya, Studiklub Tater Bandung (STB), Mainteater, Laskar Panggung dan Actors Unlimited. Selain bermain dan menyutradarai teater, ia kerap diundang untuk tampil membacakan puisi karya penyair Indonesia dan menjadi juri lomba baca puisi atau festival teater. Ia beberapa kali menjuarai lomba baca puisi tingkat daerah maupun nasional.

READ MORE - Menyoal Perempuan Melalui Pertunjukan Puisi Ayi K. Iskandar

Gairah Seni Grafis Indonesia dalam Trienal Seni Grafis Indonesia III 2009

Sejauh manakah dinamika perkembangan praktik seni grafis tanah air kita? Anda bisa temukan jawabannya pada pameran Trienal Seni Grafis III 2009 yang diselenggarakan oleh Bentara Budaya 15 – 25 Oktober 2009 di Galeri Bentara Budaya Jakarta.

Hajatan seni tiga tahunan yang telah diadakan sejak 2003 ini merupakan satu-satunya trienal yang secara khusus ditujukan sebagai usaha untuk menata sekaligus melaporkan perkembangan dunia seni grafis di Indonesia. Trienal yang bersifat kompetisi ini juga merupakan pameran besar karya seni grafis dari seniman-seniman dengan berbagai tingkat usia serta generasi. Dengan begitu, ajang ini tidak hanya menjadi representasi dari perkembangan seni grafis mutakhir, tetapi juga sebagai upaya untuk mempopulerkan dan menggairahkan kehidupan seni grafis di tanah air.

Sejak pertama kali diadakan pada tahun 2003, trienal seni grafis terus mengalami peningkatan baik dari segi jumlah peserta hingga tema dan teknik yang digunakan. Trienal yang ke-3 tahun ini menjaring peserta yang lebih banyak dibanding penyelenggaraan sebelumnya, yaitu 166 peserta dengan 309 karya seni grafis. Pada trienal pertama tahun 2003, jumlah peserta sebanyak 126 seniman dengan 236 karya, sementara trienal kedua pada 2006 tercatat 93 seniman dengan 164 karya.

Tidak hanya dari jumlah peserta, apresiasi publik terhadap seni grafis pun semakin meningkat, terlihat dari ratusan pengunjung yang memadati saat pembukaan pameran yang dibuka oleh Ketua Pecinta Seni Indonesia, Hauw Ming, kamis (15/10) malam di Bentara Budaya Jakarta. Selain itu, Direktur Eksekutif Bentara Budaya, Efix mulyadi, juga menilai pencarian teknis maupun pencapaian mutu karya peserta trienal tahun ini cukup memuaskan. Peningkatan ini tentu saja menggembirakan bagi kalangan penggiat dan pemerhati seni grafis di Indonesia, mengingat popularitas seni grafis masih jauh bila disandingkan dengan seni lain, sebut saja seni lukis misalnya.

Tema – Estetik – Teknik

Trienal Seni Grafis kali ini memamerkan 50 karya seni grafis dari 41 finalis yang lolos, setelah melalui proses seleksi yang dijaga secara ketat oleh dewan juri. Penilaian yang agak berbeda dari trienal sebelumnya diterapkan, di mana dewan juri kali ini melonggarkan aspek tema seraya menekankan porsi besar pada aspek teknik, atau seperti dikatakan Ketua Dewan Juri, Aminudin Th. Siregar, “trienal kali ini lebih jauh akan menilai tawaran tematik serta estetik seniman melalui kecakapan teknik cetaknya.” Pilihan ini terbukti tidak salah, berbagai tema seperti tema lingkungan, sosial, kehidupan urban, dihadirkan melalui beragam teknik cetak.

Meski teknik cetak tinggi yang diwakili oleh cukil kayu masih mendominasi karya peserta trienal, terdapat beberapa karya peserta yang menggunakan teknik lain seperti cetak dalam (intaglio), cetak datar (litografi), cetak saring (sablon), monoprint, serta mixmedia. Lebih jauh Aminudin mengatakan, “Dari 303 karya, lebih dari 50 persen karya memanfaatkan teknik cetak tinggi, disusul persentasi teknik cetak dalam lalu berturut-turut persentasi teknik cetak saring (sablon).”

Menurutnya, popularitas teknik cetak tinggi disebabkan selain karena proses yang relatif mudah dibanding teknik teknik cetak lainnya, melalui teknik cetak tinggi, seniman bisa lebih leluasa dalam melakukan eksperimen visual dengan memanfaatkan ukuran plat cetak hingga memunculkan cetakan berlapis melalui penggunaan tinta warna yang beragam. Bahkan, selama tiga kali penyelenggaraan trienal, teknik cetak tinggi selalu meraih penghargaan tertinggi. Meski begitu, kondisi ini bisa disikapi sebagai tantangan bagi seniman yang menempuh jalur teknik cetak lain dalam trienal yang akan datang.

Karya Pemenang

Selayaknya kompetisi, maka seluruh karya peserta diseleksi dan dinilai oleh tim juri untuk kemudian ditetapkan karya mana yang berhak meraih penghargaan tertinggi. Dewan juri diketuai oleh Aminudin Th. Siregar (Dosen Seni Rupa ITB, Kurator) dengan anggota yaitu Efix Mulyadi (Ketua Dewan Kurator Bentara Budaya Jakarta), Enin Supriyanto (Kurator Bentara Budaya), Hendro Wiyanto (kurator), Ipong Purnama Sidhi (Kurator Bentara Budaya), Irwan Julianto (Wartawan dan Kurator Bentara Budaya), serta Putu Fajar Arcana (Wartawan dan Kurator Bentara Budaya).

Karya grafis Winarso Taufiq berjudul “Imaji Tentang Kerusakan Alam” sebanyak lima seri (Banjir Kiriman, Sungai Beracun, Bom Minyak, Banjir Bandang, dan Jalan Gila) dengan teknik cetak dalam ditetapkan sebagai juara pertama. Irwanto Lentho meraih juara kedua dengan karya berjudul “Engraver Family with Their Dog Tracker” dengan teknik cukil kayu. Juara ketiga diraih oleh Anggara Tua Sitompul melalui karyanya berjudul “Cakrakala” juga dengan teknik cukil kayu.

Nama-nama yang sudah cukup dikenal di kalangan seni grafis juga menjadi finalis di ajang ini, seperti Syahrizal Pahlevi (Yogya), Sri Maryanto (Yogya), Haryadi Suadi (Bandung), serta seniman grafis lainnya, yang sebagian besar berasal dari Yogyakarta dan Bandung.

READ MORE - Gairah Seni Grafis Indonesia dalam Trienal Seni Grafis Indonesia III 2009

“Wayang Keroncong Cuk & Cis”, Wajah Baru Teater Modern Indonesia


Indonesiaseni.com, Surabaya - Menghadirkan warna baru dalam wajah teater modern Indonesia menjadi spirit bagi kelompok behindtheactors Bandung yang meramu wayang, musik keroncong, akting dan tari sekaligus dalam satu pertunjukan. behindtheactors membawa kreatifitas dan inovasi mereka dalam pementasan “Wayang Keroncong Cuk & Cis”, di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Rabu (27/1). Pertunjukan “Wayang Keroncong Cuk & Cis” distrudarai oleh Asep Budiman, berdasarkan cerpen Vincent Mathieu, yang diterjemahkan oleh HB. Jassin.

Cuk dan Cis merupakan pengembangan dari karakter Gerda dan Didi, yang terdapat dalam cerpen karya Vincent Mathieu, penulis Indo-Belanda yang hidup di jaman Hindia Belanda. Cis (Mella Septianti), seorang perempuan yatim piatu yang tubuhnya terperangkap dalam kelumpuhan. Meski pikirannya ramai, namun ruang di hatinya sakit dan kesepian. Cis menikah dengan Stirman tiga Belanda (Hendra Mboth). Saat suaminya ke Belanda, Cis hamil oleh Teddy yang menolak mengawininya. Stirman kemudian harus menghadapi kematian akibat pendarahan otak ketika dirinya ditawan tentara Jepang. Sementara Cuk (Rani Nuraeni) adalah gadis yang berbeda dengan gadis pada umumnya, dengan pemikiran dan karakter yang digambarkan seperti pemburu. Ia tinggal bersama sahabatnya, seorang lelaki bersenapan bernama Man (Hermana HMT). Cuk hidup memburu obsesi dan cintanya terhadap Tuan Barres (Rusli Keleeng), seorang guru musik dan pemain cello yang tinggal di pemakaman. Namun akhirnya Cuk mati di atas tanah rawa dan bunga karang ditemani Man. Perburuan berakhir, karena kematian menangkap mereka, begitu juga nasib yang menimpa Tuan Barres.

Dalang (Dede Candra S), hadir sebagai penunjuk arah dan nyawa dalam alur pementasan. Permainan wayang golek diiringi gerak sepasang penari (Oos Koswara dan Mella Septiyanti), melebur bersama akting dan musik keroncong yang diracik menjadi tampilan audio visual yang memancing penonton untuk menafsirkan makna pementasan. “Hasrat berburu dan membunuh, merupakan benang merah yang tidak putus dari pementasan “Wayang keroncong Cuk & Cis”, tidak hanya memburu cinta, tetapi dalam cerminan keseharian, perburuan tak lepas dalam keseharian hidup manusia,” Ucap Asep Budiman, yang akrab disapa asbud ini.

Sebuah pementasan teater dikatakan memiliki tendensi bentuk baru, jika tidak saja memiliki sesuatu yang berbeda dibanding karya sebelumnya, tetapi juga memiliki nilai khas untuk ditampilkan di ruang publik. behindtheactors menggeluti naskah selama satu tahun tiga bulan untuk persiapan pementasan, hingga mampu melahirkan kembali naskah karya Vincent Mathieu ini ke dalam sebuah pementasan. “Konsep kolaborasi antara wayang sebagai teater rakyat yang mendunia, diberi bumbu segar dengan paduan keroncong sebagai musik yang eksklusif, sedangkan pemilihan naskah dari cerpen penulis Indo-Belanda, Vincent Mathieu, bertujuan untuk memperkenalkan kembali Vincent yang hidup di masa Hindia-Belanda dan peduli kepada nasib bangsa Indonesia, sekalipun melakukan perlawanan terhadap bangsa-nya sendiri. Secara keseluruhan, pementasan ini bertujuan sebagai daya tarik dan menuangkan garapan teater dengan sesuatu yang berbeda, selain itu, kami ingin menghadirkan masa lalu menjadi masa kekinian dalam perwajahan teater modern Indonesia,” Jelas Asbud.

Rosul Hidayatulloh sebagai penata musik mengungkapkan hal yang senada mengenai keterlibatannya dalam kolaborasi ini. “Spirit kesenian khususnya tradisi adalah tidak untuk dikotak-kotakkan, yang terpenting adalah nilai lokal dengan kebersamaan dan pengembangan nilai lokal budaya dengan nilai kearifan lokal,” terangnya.

Menyoal tentang teater modern Indonesia, behindtheactors yakin dalam 10 tahun mendatang teater modern di Indonesia akan semakin jelas jika mulai sekarang kita menyadari keberadaan teater kita dalam konteks akar tradisi, dengan upaya membaca dan mengembangkan, salah satunya media wayang sebagai kesenian rakyat Indonesia asli.
READ MORE - “Wayang Keroncong Cuk & Cis”, Wajah Baru Teater Modern Indonesia